Pajak Kendaraan di Indonesia Masih Tinggi, Begini Perbandingannya dengan Negara Lain
Beban pajak kendaraan bermotor di Indonesia masih tergolong tinggi dibandingkan negara tetangga, bahkan kerap disebut salah satu yang terberat di Asia.
Memiliki kendaraan pribadi di Indonesia tidak hanya soal harga beli, tetapi juga beban pajak tahunan yang wajib dibayar. Data dari berbagai sumber menunjukkan bahwa pajak kendaraan di Tanah Air masih tergolong tinggi, bahkan bisa mencapai sepuluh kali lipat dibandingkan Malaysia untuk model kendaraan yang sama.
Sebagai gambaran, pajak tahunan untuk mobil populer seperti Toyota Avanza di Indonesia bisa mencapai sekitar Rp5 juta. Di Malaysia, pajaknya hanya sekitar Rp500 ribuan, sementara di Thailand lebih rendah lagi, berkisar Rp150 ribuan saja. Perbedaan mencolok ini membuat banyak pihak menilai bahwa pajak kendaraan di Indonesia relatif memberatkan.
Tingginya beban pajak kendaraan di Indonesia disebabkan oleh berbagai komponen pungutan, mulai dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), hingga Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk jenis kendaraan tertentu. Ditambah dengan PPN dan biaya administrasi lainnya, total biaya kepemilikan kendaraan bisa terasa jauh lebih mahal dibandingkan negara tetangga.
Jika dibandingkan dengan negara maju, polanya sedikit berbeda. Di Eropa, misalnya, pajak kendaraan lebih menekankan pada faktor emisi karbon dan kapasitas mesin. Mobil bermesin besar dengan emisi tinggi bisa terkena pajak yang sangat besar, sementara kendaraan listrik atau ramah lingkungan justru mendapat insentif. Hal ini membuat masyarakat beralih ke kendaraan hemat energi atau listrik.
Di Jerman, pajak kendaraan dihitung berdasarkan kapasitas mesin dan tingkat emisi COâ, dengan tarif yang bisa mencapai lebih dari Rp10 juta per tahun untuk mobil bermesin besar. Sebaliknya, mobil listrik mendapatkan keringanan hingga bebas pajak selama 10 tahun pertama. Inggris menerapkan sistem serupa dengan pajak tahunan berbasis emisi, di mana mobil rendah emisi hanya membayar sedikit biaya administrasi, sementara mobil berbahan bakar fosil bisa dikenakan biaya puluhan juta rupiah per tahun. Norwegia bahkan memberikan insentif besar bagi mobil listrik, termasuk bebas pajak pembelian, bebas biaya tol, dan subsidi tambahan, sehingga mendorong negara tersebut menjadi salah satu pasar EV terbesar di dunia.
Berbeda dengan pola di negara maju, sistem pajak kendaraan di Indonesia belum sepenuhnya berbasis emisi. Akibatnya, beban terasa merata tanpa memberikan dorongan kuat untuk peralihan ke kendaraan yang lebih ramah lingkungan.
Dampak dari tingginya pajak kendaraan ini cukup beragam. Bagi konsumen, tentu biaya kepemilikan kendaraan menjadi lebih berat, terutama bagi masyarakat kelas menengah. Bagi industri otomotif, tingginya pajak bisa menekan penjualan mobil baru karena harga yang relatif mahal dibanding negara lain. Tidak jarang, hal ini juga membuat masyarakat menunda pembelian atau beralih ke pasar mobil bekas yang lebih terjangkau.
Namun, di sisi lain, pemerintah beralasan bahwa pajak kendaraan adalah salah satu sumber penting penerimaan daerah dan instrumen untuk mengendalikan jumlah kendaraan pribadi di jalan raya. Dengan jumlah kendaraan yang terus meningkat setiap tahun, pajak tinggi diharapkan dapat menekan laju pertumbuhan kendaraan, meski efektivitasnya masih menjadi perdebatan.
Ke depan, banyak kalangan berharap reformasi pajak kendaraan di Indonesia bisa diarahkan untuk lebih adil dan produktif, misalnya dengan berbasis emisi atau mendukung kendaraan ramah lingkungan. Dengan begitu, masyarakat tidak merasa terbebani, industri otomotif tetap tumbuh, dan lingkungan perkotaan bisa lebih sehat serta berkelanjutan.





